No Tears, The Son said " I am grateful to my mother's death.
Tanpa Air Mata, Kelaki ini berkata ..Aku bersyukur ibu tiada"
Dia
berjalan kearah kerumunan tempat prosesi ibunya dikuburkan dengan langkah tegap
penuh kepercayaan diri tanpa sedikitpun bekas air mata di pipinya.
Orang-orang melihatnya, menyalaminya, dan
mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya wanita tercinta yang telah
membesarkannya. Hampir tak ada sedikitpun rasa kesedihan di wajahnya.
Dan senyumnya yang ramah itu menimbulkan
tanda tanya di benak para pelayat, termasuk saudari satu-satunya.
Dia berdiri di tepi kuburan menatap liang
lahat seolah-olah ingin mengukur luasnya. Lalu masuk kedalam, membantu
pemakaman ibunya meski tanah basah mengotori jas yang dikenakannya.
Sesekali dia tersenyum menatap wajah
ibunya yang kaku dan tak bisa lagi membuka matanya. Dan sekali lagi, tidak
adanya kesedihan diwajahnya menimbulkan pertanyaan, ‘Ada apa antara dia dan
ibunya?’.
Orang-orang telah pergi meninggalkannya
yang masih berdiri di tepi kuburan sang ibu. Saudarinya pun telah dimintanya
untuk pergi duluan mengurus suami dan anak-anaknya.
Sementara dia tetap berdiri disana,
sendirian, namun sekali lagi, tanpa sedikitpun kesedihan. Sesekali dia
tersenyum seakan ibu melihatnya dari dalam.
“Boleh saya bertanya, nak?” Sapaan pak
ustadz dari belakang mengagetkannya.
Dia menoleh kebelakang dan mengangguk
kecil sambil tersenyum.
Pak ustadz lalu berdiri disebelah
kanannya, “Saya hanya ingin meluruskan rasa penasaran warga padamu, ada apa antara
kamu dan ibumu?”
“Maksudnya pak?”
“Yaaah, kami tidak melihat sedikitpun
rasa sedih di wajahmu.”
Sekali lagi dia tersenyum dan menatap
pusara sang ibu, “Ayahku meninggal saat aku masih remaja, dan dia ayah yang
sangat baik meski bekerja pas-pasan. Dia melindungi kami dari apapun yang
merusak lahir dan batin kami. Tapi aku adalah anak pembangkang.”
“Di hari terakhir ayahku, aku bertengkar
hebat dengannya dan bahkan meyumpahinya hanya karena dia tak membelikan aku
handphone yang kuinginkan. Aku takkan lupa saat ayahku selesai dikuburkan, pak
ustadz.
Ibuku menangis setiap harinya, tubuhnya
melemah dan mengurus. Namun dia tak berhenti berkeliling menjajakan bakwan
keseluruh kampung meski beberapa bakwan yang terjual itu terasa asin bercampur
dengan air matanya.”
“Aku melihatnya setiap saat pak, dan aku
tidak bisa berhenti menyalahkan diriku yang telah membawa kekecewaan di wajah
ayahku saat dia meninggal. Sejak itu, aku meyakinkan diriku bahwa suatu hari
nanti ibuku akan mengalami hal yang sama. Dia akan meninggal, dia akan
meninggal, dan dia akan meninggal. Dan itu hanya masalah waktu.”
“Pikiran
itu terus menghantuiku dan memaksaku harus melakukan sesuatu. Aku tak bisa lagi
melakukan kesalahan yang sama seperti pada ayahku. Aku mengubah semua tentang hidupku,
baik duniaku maupun agamaku, karena setiap harinya aku berpikir mungkin besok
adalah hari terakhir ibuku. Hingga aku berada di posisi seperti ini, pak
ustadz.”
Aku
bersyukur, ibuku meninggal ketika aku tidak lagi membebani hidupnya.
Aku bersyukur, ibuku meninggal setelah aku memberinya cucu yang sehat dan berbakti.
Aku bersyukur, ibuku meninggal saat masa tuanya hanya tinggal memikirkan ibadah.
Aku bersyukur, ibuku meninggal dengan menepuk dada setiap kali dia bercerita tentangku dan saudariku.
Aku bersyukur, ibuku meninggal di rumahnya dan bukan di kontrakannya.
Aku bersyukur, ibuku meninggal sekarang ini, pak ustadz.
Aku bersyukur, ibuku meninggal penuh kebahagiaan karena aku dan saudariku selalu menghubunginya setiap hari menanyakan kabarnya dan menceritakan kabar kami.”
Aku bersyukur, ibuku meninggal setelah aku memberinya cucu yang sehat dan berbakti.
Aku bersyukur, ibuku meninggal saat masa tuanya hanya tinggal memikirkan ibadah.
Aku bersyukur, ibuku meninggal dengan menepuk dada setiap kali dia bercerita tentangku dan saudariku.
Aku bersyukur, ibuku meninggal di rumahnya dan bukan di kontrakannya.
Aku bersyukur, ibuku meninggal sekarang ini, pak ustadz.
Aku bersyukur, ibuku meninggal penuh kebahagiaan karena aku dan saudariku selalu menghubunginya setiap hari menanyakan kabarnya dan menceritakan kabar kami.”
Dia
mulai meneteskan air mata, dan mulai mengalir deras, meski bibirnya terus
menerus mengukirkan senyum yang menyejukkan.
“Dan
aku bersyukur, pak ustadz. Aku bersyukur, ibuku meninggal tanpa membawa
kekecewaan kealam sana dan yakin bahwa aku dan saudariku akan terus memberinya
kebanggaan yang akan dikatakannya pada Tuhan dan pada ayahku. Penyesalanku
sekarang, aku harus bersabar untuk melihat senyumnya dan mendengar tawanya
lagi.”
No comments:
Post a Comment