Kisah Haru Dibalik Gempa Pidie Jaya Di Aceh Yang Tidak Terekspos
Kamis pagi pukul 5:03 WIB tanggal 8 Desember 2016 adalah hari yang tak terlupakan rakyat Aceh. Setelah peristiwa gelombang raksasa tsunami yang menghancurkan Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, yang menelan kurang lebih 130.000 orang adalah peristiwa terbesar abad 21. Kini kembali Aceh di guncang gempa dengan kekuatan 6,5 SR berpusat di darat pada koordinat 5,19° LU dan 96,38 BT dengan kedalaman 10 kilometer yang telah menelan korban sekitar 100an orang lebih.
Banyak tangisan dan rintihan disana , saat anak kehilangan orangtuanya, atau orang tuanya kehilangan anaknya, saat seorang istri kehilangan suaminya dan suami kehilangan isrtinya ada beberapa kisah haru yang tidak terekspos media, yang cukup membuat hari terenyuh mendengarnya, berikut saya rangkum dalam kisah haru dibalik gempa Pidie yang tidak terekspos.
# Di sebuah kamar rumah toko (ruko) lantai 2, Nisa Karya (27) masih terlelap.
Ia tiba-tiba merasakan gemuruh menggetarkan dinding dan lantai
kamarnya. Segala yang ada berjatuhan, berantakan. Bumi berguncang hebat.Bruuukkk! Dalam hitungan detik, ruko itu ambruk disusul padamnya arus listrik. Suasana gelap dan pengap.
Nisa merasakan tubuhnya terjerembap di antara puing-puing bangunan.
"Ketika hari sudah pagi dan mulai terang, saya melihat ada cahaya dari luar, lalu saya merayap sambil mencari sumber cahaya dan berusaha keluar, sembari minta tolong dari warga yang ada di luar," ujarnya saat ditemui Serambi di Mushala SPBU Ulee Gle, Kecamatan Bandar Dua, Pidie Jaya, Rabu (7/12/2016).
Karyawan SPBU Ulee Gle ini adalah satu di antara banyak korbanyang selamat dalam peristiwa gempa 6,5 skala Richter yang mengguncang Pidie Jaya, Pidie, Bireuen, dan sebagian wilayah Aceh lainnya.
Setidaknya hingga tadi malam 68 korban dinyatakan tewas dan lainnya masih tertimbun reruntuhan dalam proses evakuasi.
Tak dapat dimungkiri, sebagian besar korban tewas karena tertimpa bangunan. Namun, sebagian korban lainnya selamat setelah berjuang keluar dari puing-puing yang mengimpit tubuh mereka.
Nisa adalah salah seorang dari para korban yang bernasib lebih baik. Warga Rambong Kecamatan Setia, Aceh Barat Daya (Abdya), ini selamat dari reruntuhan ruko yang ambruk setelah diguncang gempa.
Namun, perjuangannya keluar dari reruntuhan adalah sebuah keajaiban.
Hanya cahaya handphone yang meneranginya selama empat jam
terperangkap dalam puing bangunan sejak pukul 05.03 WIB sampai pukul
09.00 WIB saat tim evakuasi mulai berdatangan.
Nisa menyadari detik-detik saat bangunan ruko roboh. Dia menangis dan berteriak minta tolong.
"Alhamdulillah, saya selamat dan berhasil menyelamatkan handphone dan beberapa pakaian," katanya dengan nada terbata-bata saat ditemui Serambi.
Nisa berhasil keluar dari reruntuhan, tetapi tidak ikut dievakuasi ambulans. Dia lebih memilih istirahat di Mushala SPBU Ulee Gle. Baru sekitar pukul 14.00 WIB ia mendapat pertolongan medis karena kaki kiri dan bahunya luka lecet.
Tak hanya Nisa Karya korban selamat setelah terjebak dalam puing bangunan juga dirasakan Nurdin (35), warga Masjid Trienggadeng, Pidie Jaya.
Lelaki ini mengalami patah tulang belakang karena tertimpa beton rumah saat menyelamatkan istri dan bayi laki-laki bernama Ali (empat bulan). Dia bahkan sempat melihat Umar (2,5), anaknya yang lain, terimpit reruntuhan.
"Tak berdaya saya bangun dan saya selamatkan bayi dan istri saya, tetapi secepat itu anak saya, Umar, tertimpa reruntuhan. Hingga saya mendapat kabar ia (Umar) sudah meninggal. Wajahnya berdarah," kisah Nurdin dengan linangan air mata.
Saat ditemui Serambi di RSUD Tgk Chik Di Tiro Sigli, Nurdin terlihat masih lemah dengan tangan diinfus. Ia tengah menunggu dirontgen dan operasi.
Sementara itu, istrinya, Sarmela (34), mengalami luka robek dan lecet memilih pulang ke Trienggadeng untuk menguburkan anaknya Umar.
Menurut penuturan Nurdin, saat gempa terjadi, ia terbangun dan merasakan hentakan bangunan dahsyat. Anaknya, Umar, tidur di kasur bawah dekat ranjang. Seketika itu, dinding beton rumahnya bergoncang hebat. Ia bergegas mengangkat bayi dan menahan reruntuhan.
Nisa menyadari detik-detik saat bangunan ruko roboh. Dia menangis dan berteriak minta tolong.
"Alhamdulillah, saya selamat dan berhasil menyelamatkan handphone dan beberapa pakaian," katanya dengan nada terbata-bata saat ditemui Serambi.
Nisa berhasil keluar dari reruntuhan, tetapi tidak ikut dievakuasi ambulans. Dia lebih memilih istirahat di Mushala SPBU Ulee Gle. Baru sekitar pukul 14.00 WIB ia mendapat pertolongan medis karena kaki kiri dan bahunya luka lecet.
Tak hanya Nisa Karya korban selamat setelah terjebak dalam puing bangunan juga dirasakan Nurdin (35), warga Masjid Trienggadeng, Pidie Jaya.
Lelaki ini mengalami patah tulang belakang karena tertimpa beton rumah saat menyelamatkan istri dan bayi laki-laki bernama Ali (empat bulan). Dia bahkan sempat melihat Umar (2,5), anaknya yang lain, terimpit reruntuhan.
"Tak berdaya saya bangun dan saya selamatkan bayi dan istri saya, tetapi secepat itu anak saya, Umar, tertimpa reruntuhan. Hingga saya mendapat kabar ia (Umar) sudah meninggal. Wajahnya berdarah," kisah Nurdin dengan linangan air mata.
Saat ditemui Serambi di RSUD Tgk Chik Di Tiro Sigli, Nurdin terlihat masih lemah dengan tangan diinfus. Ia tengah menunggu dirontgen dan operasi.
Sementara itu, istrinya, Sarmela (34), mengalami luka robek dan lecet memilih pulang ke Trienggadeng untuk menguburkan anaknya Umar.
Menurut penuturan Nurdin, saat gempa terjadi, ia terbangun dan merasakan hentakan bangunan dahsyat. Anaknya, Umar, tidur di kasur bawah dekat ranjang. Seketika itu, dinding beton rumahnya bergoncang hebat. Ia bergegas mengangkat bayi dan menahan reruntuhan.
Dalam kondisi serbapanik itu, Nurdin tak melihat Umar
tertimpa reruntuhan, sementara pinggang dan tangannya juga tertimpa
beton saat menyelamatkan bayinya.
Ia tak kuasa bangkit menggendong Umar. "Saya sedih tidak bisa melihat pemakaman anak saya," ujarnya tersedu seraya menahan sakit.
# Cerita tak kalah mirisnya juga dialami Aliya (10), bocah Ulee Gle, Pijay. Ia selamat setelah berhasil keluar dari reruntuhan ruko yang roboh dengan cara merangkak.
"Aliya terjebak dalam ruko. Ia berhasil keluar dengan merangkak dari reruntuhan. Sekarang, ia trauma dan luka-luka," kata Raudatul Jannah, kerabat Aliya kepada Kompas.com.
"Dia hanya bisa bilang kalau ayah ibunya ada di dalam ruko masih terjebak. Dia dalam kondisi trauma berat," katanya.
Raudatul mengatakan, bangunan ruko miliknya tersebut hancur akibat gempa. Di ruko tersebut, tinggal bibinya bernama Mariani dan suaminya, Ibrahim, bersama anak mereka, Aliya.
# Semburan air bercampur pasir hitam keluar dari celah tanah yang terbelah saat gempa berkekuatan 6,4 SR terjadi di Pidie Jaya, Rabu (7/12/2016) sekira pukul 05.03, dini hari.
Air hitam yang keluar dalam bumi itu setinggi setengah meter yang menyembur cepat, terjadi di Gampong Meunasah Balek, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya. Gampong tersebut terletak sekitar 500 meter dengan bibir laut.
Semburan air tersebut keluar mengikuti tanah yang terbelah di gampong itu. Saat ini pasir halus berwarna hitam masih terlihat di depan rumah dan di pinggir jalan Gampong Meunasah Balek.
Mustajab Majid (40) warga Gampong Meunasah Balek, kepada Serambinews.com, Jumat (9/12/2016) mengatakan, dirinya sempat menyaksikan air hitam bercampur pasir keluar dari dalam tanah yang terbelah.
Semburan air itu sangat kuat yang terjadi bersamaan dengan gempa.
"Saya sempat terperosok ke dalam lubang semburan air hitam yang keluar saat menyelamatkan diri. Saya tidak ingat berapa lama air hitam keluar dari bumi. Saya lihat saat lari menyelamatkan diri dari dalam rumah," kenang Mustajab. (*)
Ia tak kuasa bangkit menggendong Umar. "Saya sedih tidak bisa melihat pemakaman anak saya," ujarnya tersedu seraya menahan sakit.
# Cerita tak kalah mirisnya juga dialami Aliya (10), bocah Ulee Gle, Pijay. Ia selamat setelah berhasil keluar dari reruntuhan ruko yang roboh dengan cara merangkak.
"Aliya terjebak dalam ruko. Ia berhasil keluar dengan merangkak dari reruntuhan. Sekarang, ia trauma dan luka-luka," kata Raudatul Jannah, kerabat Aliya kepada Kompas.com.
"Dia hanya bisa bilang kalau ayah ibunya ada di dalam ruko masih terjebak. Dia dalam kondisi trauma berat," katanya.
Raudatul mengatakan, bangunan ruko miliknya tersebut hancur akibat gempa. Di ruko tersebut, tinggal bibinya bernama Mariani dan suaminya, Ibrahim, bersama anak mereka, Aliya.
# Semburan air bercampur pasir hitam keluar dari celah tanah yang terbelah saat gempa berkekuatan 6,4 SR terjadi di Pidie Jaya, Rabu (7/12/2016) sekira pukul 05.03, dini hari.
Air hitam yang keluar dalam bumi itu setinggi setengah meter yang menyembur cepat, terjadi di Gampong Meunasah Balek, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya. Gampong tersebut terletak sekitar 500 meter dengan bibir laut.
Semburan air tersebut keluar mengikuti tanah yang terbelah di gampong itu. Saat ini pasir halus berwarna hitam masih terlihat di depan rumah dan di pinggir jalan Gampong Meunasah Balek.
Mustajab Majid (40) warga Gampong Meunasah Balek, kepada Serambinews.com, Jumat (9/12/2016) mengatakan, dirinya sempat menyaksikan air hitam bercampur pasir keluar dari dalam tanah yang terbelah.
Semburan air itu sangat kuat yang terjadi bersamaan dengan gempa.
"Saya sempat terperosok ke dalam lubang semburan air hitam yang keluar saat menyelamatkan diri. Saya tidak ingat berapa lama air hitam keluar dari bumi. Saya lihat saat lari menyelamatkan diri dari dalam rumah," kenang Mustajab. (*)
# Adnan, bocah berusia empat tahun asal Desa Rawa Sari Kecamatan Tringgadeng, Pidie Jaya, Aceh, terbaring lemas di bawah tenda darurat. Bajunya berlumuran darah. Selang infus terpasang di tangannya.
Bocah ini salah satu korban reruntuhan bangunan akibat gempa 6,5 SR, Rabu (7/12/2016). Saat itu, dia bersama ayah dan ibunya masih terlelap tidur. Guncangan gempa membangunkan seisi rumah.
Saat hendak menyelamatkan diri, bangunan rumah tempat mereka tinggal ambruk. Ayahnya dengan kondisi patah tulang pinggang berusaha menyelamatkan sang ibu dan tiga anak-anak yang lain.
Tiba-tiba, di balik reruntuhan ada suara minta tolong.
"Ayah, tolong saya. Saya terjepit," teriak Adnan.
Warga sekitar pun ikut membantu mengevakuasi para korban yang tertimbun. Nenek Adnan, Siti Aisyah mengatakan para korban selanjutnya dibawa ke rumah sakit. "Dia (Adnan) mengalami luka di kepala. Orang tuanya juga sedang dalam perawatan. Ayahnya patah di bagian pinggang," ujarnya.
Sejatinya Nas (33) dan kekasihnya mengikat janji setia. Namun, bencana gempa bumi telah merenggut nyawa Nas.
Nas meninggal dunia akibat tertimpa bangunan toko tempat tinggalnya di pusat pertokoan di Meureudu, Pidie Jaya, Aceh.
"Informasinya Nas meninggal. Sayang padahal besok (Kamis) dia menikah. Saya juga mendapatkan undangannya," kata seorang warga bernama Said Husen saat ditemui di lokasi, Rabu (7/12/2016).
Husen berjualan tidak jauh dari tempat tinggal Nas tersebut. Dia bahkan sempat melihat ruko tersebut ambruk dalam hitungan menit. Menurutnya, warga sekitar tidak dapat berbuat banyak karena listrik langsung padam ketika gempa terjadi.
Jenazah Nas telah dievakuasi dari bawah reruntuhan bangunan sekitar pukul 09.30 WIB. Alat berat pun telah berada di lokasi untuk mencari korban lainnya.
Suasana dalam masjid di kompleks Pesantren Mudi Mesra, Samalanga, Bireuen, Aceh yang awalnya tenang mendadak berubah. Santri berlarian menyelamatkan diri saat gempa berkekuatan 6,4 SR mengguncang. Goyangan bumi itu terjadi beberapa saat sebelum azan salat subuh berkumandang.
Setelah santri berada di halaman masjid, tiba-tiba kubah masjid ambruk dan sebagian puing-puing berserakan di bawah. Suasana makin panik. Beberapa santri yang masih berada di kamarnya di lantai dua ada yang loncat untuk menyelamatkan diri.
"Ada 12 santri yang loncat dari lantai 2 mungkin karena panik dan trauma. Jumlah korban luka-luka yaitu 80 orang santri laki-laki dan 28 santri perempuan," kata Wadir 2 Mudi Mesra Tgk H Sayed Mahyiddin saat ditemui di Pondok Pesantren Mudi Mesra, Kamis (8/12/2016).
Rata-rata santri mengalami luka lecet dan terkilir. Ada lima orang patah kaki dan saat ini sudah dalam perawatan di rumah sakit.
Pasca gempa, aktivitas belajar mengajar di sana ditiadakan. Santri dibolehkan pulang ataupun bertahan di pesantren. Mereka saat ini masih banyak yang memilih tidak meninggalkan tempat mengaji."Ditiadakan dalam dua hari ini," jelas Mahyiddin.
Warga dari beberapa desa di Kecamatan Trienggadeng, Pidie Jaya, Aceh, memilih mengungsi di Meunasah ataupun tempat yang dianggap aman. Kondisi di lokasi masih gelap gulita. Sebagian warga bermalam tanpa bantuan penerangan apa pun.
Pantauan detikcom, Rabu (7/12/2016) malam di Desa Meue Dusun Lampuh Kawat, Kecamatan Trienggadeng, Pidie Jaya, puluhan warga mulai anak-anak hingga orang tua memilih mengungsi di sebuah bangunan yang terbuat dari kayu. Beberapa ayunan untuk anak kecil diikat di sana.
Warga Desa Deue yang perempuan dan anak tidur-tiduran di posko pengungsian. Sementara warga laki-laki berjaga. Mereka memberi petunjuk arah jika ada kendaraan yang melintas. Kondisi gelap gulita karena listrik mati usai gempa melanda pagi tadi.
Seorang warga setempat, Siti Hawa (36) mengatakan dirinya memilih mengungsi karena takut terjadinya gempa susulan. Saat gempa mengguncang, dia sempat terjepit lemari sebelum akhirnya berhasil menyelamatkan diri.
"Malam ini kami nginap di sini hingga besok. Nggak berani pulang ke rumah," kata Hawa kepada detikcom.
Menurutnya, sejumlah rumah di desa tersebut mengalami retak-retak dan ada juga yang mengalami kerusakan. Namun tidak terlalu parah.
"Gempa kali ini beda sekali. Hentakannya beda," jelasnya.
Selain di Desa Meue, warga Desa Dayah Pangwa juga ikut mengungsi di sebuah Meunasah. Di sana, perempuan sudah mulai beristirahat sedangkan kaum pria sibuk mempersiapkan masakan untuk besok. "Kami sudah ngungsi sejak sore tadi. Ada perintah dari kepala desa untuk mengungsi," kata Haris (52), seorang warga Dayah Pangwa.
Saat ini, listrik di sebagian wilayah Pidie Jaya sudah kembali hidup. Meski demikian, warga malam ini lebih banyak memilih mengungsi di tempat yang dianggap aman.
Yaah selalu ada hikmah dibalik peristiwa sehingga kita bisa introspeksi dan memperbaiki diri...
No comments:
Post a Comment